berita PAKKI
https://sc.pakki.org/storage/artikel/162-Cover LSP (3).jpg

Behavior Based Safety (BBS): Tantangan Implementasi di Indonesia

Behavior Based Safety (BBS) dikenal sebagai salah satu pendekatan keselamatan kerja yang berfokus pada perilaku manusia. Kons...

15 Desember 2025 | Konten ini diproduksi oleh A2K4

Behavior Based Safety (BBS) dikenal sebagai salah satu pendekatan keselamatan kerja yang berfokus pada perilaku manusia. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa sebagian besar kecelakaan kerja terjadi akibat unsafe behavior atau perilaku tidak aman. Dengan mengamati, mengukur, dan mengubah perilaku pekerja, diharapkan angka kecelakaan dapat ditekan secara signifikan.

Namun, dalam praktiknya di Indonesia, penerapan BBS sering menghadapi tantangan serius. Salah satu kelemahan paling krusial adalah kecenderungan BBS yang terlalu fokus pada individu, sementara perbaikan sistem justru terabaikan. Ketidakseimbangan inilah yang membuat BBS kerap dipersepsikan sebagai alat “menyalahkan pekerja”, bukan sebagai strategi keselamatan yang komprehensif.



Konsep Dasar Behavior Based Safety

Secara teori, BBS menekankan pada:

  • Observasi perilaku kerja
  • Identifikasi perilaku aman dan tidak aman
  • Pemberian umpan balik langsung
  • Penguatan perilaku aman secara berkelanjutan

Pendekatan ini banyak diadopsi karena relatif mudah diterapkan, hasilnya bisa cepat terlihat, dan tidak selalu membutuhkan investasi teknologi yang besar. Dalam jangka pendek, BBS memang dapat meningkatkan kesadaran pekerja terhadap keselamatan.

Namun, keselamatan kerja tidak hanya soal apa yang dilakukan pekerja, tetapi juga dalam sistem seperti apa mereka bekerja.



Kelemahan Utama: Terlalu Fokus pada Individu

Salah satu kritik terbesar terhadap BBS adalah kecenderungannya untuk memusatkan perhatian pada kesalahan manusia (human error), tanpa menggali akar penyebab sistemik. Di banyak perusahaan, BBS diterapkan dengan cara:

  • Mengamati pekerja di lapangan
  • Mencatat perilaku tidak aman
  • Memberi teguran atau pembinaan
  • Menganggap masalah selesai ketika perilaku berubah

Pendekatan ini berisiko menimbulkan ilusi keselamatan. Perilaku pekerja memang terlihat lebih patuh, tetapi sistem kerja yang berbahaya tetap tidak diperbaiki.

Sebagai contoh:

  • Pekerja ditegur karena tidak memakai APD, padahal APD tidak nyaman atau tidak sesuai standar.
  • Operator dianggap lalai, padahal prosedur kerja tidak realistis dengan target produksi.
  • Pekerja disalahkan karena “tidak fokus”, sementara jam kerja berlebihan dan kelelahan tidak dikelola.

Dalam kondisi seperti ini, BBS justru menjadi alat kontrol individu, bukan sarana peningkatan sistem keselamatan.



Risiko Budaya Menyalahkan (Blaming Culture)

Jika tidak dirancang dengan matang, BBS dapat memperkuat blaming culture. Pekerja merasa diawasi, dicurigai, dan selalu dianggap sebagai sumber masalah. Akibatnya:

  • Pekerja enggan melaporkan kondisi tidak aman
  • Near miss tidak dilaporkan karena takut disalahkan
  • Hubungan antara manajemen dan pekerja menjadi tidak sehat
  • Keselamatan menjadi formalitas, bukan kesadaran

Padahal, prinsip K3 modern menekankan bahwa kecelakaan adalah kegagalan sistem, bukan semata-mata kegagalan individu.



Konteks Indonesia: Tantangan Budaya dan Sistem

Di Indonesia, tantangan penerapan BBS semakin kompleks karena beberapa faktor:

  1. Hierarki kerja yang kuat
  2. Budaya kerja yang cenderung top-down membuat pekerja sulit menyuarakan masalah sistemik. BBS sering dijalankan sebagai instruksi, bukan dialog.
  3. Fokus pada kepatuhan, bukan desain kerja
  4. Banyak perusahaan lebih mudah menuntut kepatuhan pekerja dibandingkan memperbaiki mesin, layout, atau proses kerja yang berisiko tinggi.
  5. Kurangnya integrasi dengan HIRADC
  6. BBS sering berdiri sendiri dan tidak terhubung dengan identifikasi bahaya dan penilaian risiko. Akibatnya, observasi perilaku tidak didasarkan pada risiko prioritas.
  7. Target produksi yang agresif
  8. Tekanan target membuat perilaku aman sulit diterapkan jika sistem tidak mendukung. Pekerja berada dalam dilema antara aman dan produktif.

BBS yang Efektif Harus Berbasis Sistem

BBS seharusnya tidak menggantikan pendekatan sistem, tetapi melengkapinya. Implementasi yang sehat harus memastikan bahwa:

  • Perilaku tidak aman dianalisis sebagai gejala, bukan akar masalah
  • Setiap temuan perilaku dikaitkan dengan kondisi kerja, prosedur, dan desain sistem
  • Manajemen ikut bertanggung jawab terhadap perbaikan, bukan hanya pekerja
  • Data BBS digunakan untuk perbaikan engineering, SOP, dan kebijakan kerja

Dengan kata lain, pertanyaan utama bukan hanya:

“Kenapa pekerja melakukan perilaku tidak aman?”

Tetapi juga:

“Sistem apa yang mendorong perilaku tersebut muncul?”



Menggeser Paradigma: Dari Individu ke Sistem

Agar BBS relevan dan berkelanjutan di Indonesia, perlu pergeseran paradigma:

  • Dari mengawasi pekerja → menjadi mendengarkan pekerja
  • Dari menghukum perilaku → menjadi memperbaiki sistem
  • Dari sekadar kepatuhan → menuju budaya keselamatan

Ketika pekerja merasa aman untuk berbicara, didukung oleh sistem yang dirancang dengan baik, perilaku aman akan muncul secara alami, bukan karena takut diawasi.



Kesimpulan

Behavior Based Safety tetap memiliki peran penting dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja. Namun, kelemahan utama penerapan BBS di Indonesia adalah fokus berlebihan pada individu, sementara perbaikan sistem sering terabaikan. Tanpa dukungan sistem yang aman, BBS berisiko menjadi alat menyalahkan pekerja dan menciptakan budaya keselamatan semu.

Keselamatan kerja yang sejati hanya dapat tercapai ketika perilaku aman dan sistem kerja yang aman berjalan beriringan. BBS bukan tujuan akhir, melainkan salah satu alat dalam strategi K3 yang lebih besar dan lebih manusiawi.