Behavior Based Safety (BBS) dikenal sebagai salah satu pendekatan keselamatan kerja yang berfokus pada perilaku manusia. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa sebagian besar kecelakaan kerja terjadi akibat unsafe behavior atau perilaku tidak aman. Dengan mengamati, mengukur, dan mengubah perilaku pekerja, diharapkan angka kecelakaan dapat ditekan secara signifikan.
Namun, dalam praktiknya di Indonesia, penerapan BBS sering menghadapi tantangan serius. Salah satu kelemahan paling krusial adalah kecenderungan BBS yang terlalu fokus pada individu, sementara perbaikan sistem justru terabaikan. Ketidakseimbangan inilah yang membuat BBS kerap dipersepsikan sebagai alat “menyalahkan pekerja”, bukan sebagai strategi keselamatan yang komprehensif.
Secara teori, BBS menekankan pada:
Pendekatan ini banyak diadopsi karena relatif mudah diterapkan, hasilnya bisa cepat terlihat, dan tidak selalu membutuhkan investasi teknologi yang besar. Dalam jangka pendek, BBS memang dapat meningkatkan kesadaran pekerja terhadap keselamatan.
Namun, keselamatan kerja tidak hanya soal apa yang dilakukan pekerja, tetapi juga dalam sistem seperti apa mereka bekerja.
Salah satu kritik terbesar terhadap BBS adalah kecenderungannya untuk memusatkan perhatian pada kesalahan manusia (human error), tanpa menggali akar penyebab sistemik. Di banyak perusahaan, BBS diterapkan dengan cara:
Pendekatan ini berisiko menimbulkan ilusi keselamatan. Perilaku pekerja memang terlihat lebih patuh, tetapi sistem kerja yang berbahaya tetap tidak diperbaiki.
Sebagai contoh:
Dalam kondisi seperti ini, BBS justru menjadi alat kontrol individu, bukan sarana peningkatan sistem keselamatan.
Jika tidak dirancang dengan matang, BBS dapat memperkuat blaming culture. Pekerja merasa diawasi, dicurigai, dan selalu dianggap sebagai sumber masalah. Akibatnya:
Padahal, prinsip K3 modern menekankan bahwa kecelakaan adalah kegagalan sistem, bukan semata-mata kegagalan individu.
Di Indonesia, tantangan penerapan BBS semakin kompleks karena beberapa faktor:
BBS seharusnya tidak menggantikan pendekatan sistem, tetapi melengkapinya. Implementasi yang sehat harus memastikan bahwa:
Dengan kata lain, pertanyaan utama bukan hanya:
“Kenapa pekerja melakukan perilaku tidak aman?”
Tetapi juga:
“Sistem apa yang mendorong perilaku tersebut muncul?”
Agar BBS relevan dan berkelanjutan di Indonesia, perlu pergeseran paradigma:
Ketika pekerja merasa aman untuk berbicara, didukung oleh sistem yang dirancang dengan baik, perilaku aman akan muncul secara alami, bukan karena takut diawasi.
Behavior Based Safety tetap memiliki peran penting dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja. Namun, kelemahan utama penerapan BBS di Indonesia adalah fokus berlebihan pada individu, sementara perbaikan sistem sering terabaikan. Tanpa dukungan sistem yang aman, BBS berisiko menjadi alat menyalahkan pekerja dan menciptakan budaya keselamatan semu.
Keselamatan kerja yang sejati hanya dapat tercapai ketika perilaku aman dan sistem kerja yang aman berjalan beriringan. BBS bukan tujuan akhir, melainkan salah satu alat dalam strategi K3 yang lebih besar dan lebih manusiawi.